Pada pokok bahasan kali ini akan
dijelaskan berbagai pemikiran filosofis, berbagai aspek dan perkembangan
ilmu kefarmasian berdasarkan urutan sejarah yang dimulai dari zaman pra
sejarah, zaman Babylonia-Assyria, zaman Mesir kuno, zaman Yunani kuno
dan zaman abad pertengahan.
Falsafah Obat dan Pengobatan
Semenjak
dunia terkembang dan dihuni oleh manusia serta makhluk hidup lainnya
mungkin sudah ada penyakit dan usaha untuk mengobatinya. Keadaan “sehat”
dan “sakit” adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan; ini berlaku
bagi semua makhluk hidup : di dunia insani, dunia hewani maupun di dunia
tumbuh-tumbuhan sekalipun. Bagi makhluk hidup, mengobati suatu
penyakit atau gangguan adakalanya merupakan salah satu usaha untuk
mempertahankan eksistensinya. Di dunia tumbuh-tumbuhan dikenal suatu
produk metabolisme selain produk metabolisme utama yang disebut sebagai
metabolit sekunder. Beberapa contoh metabolit sekunder misalnya :
alkaloida, glikosida, terpenoid, flavonoid dan lain sebagainya merupakan
racun bagi makhluk lainnya. Seekor binatang yang sehat tidak akan
memakan daun oleander yang mengandung glikosida yang berbahaya bagi
jantung, juga tidak akan ada yang memakan daun kecubung yang mengandung
alkaloida golongan tropan yang bekerja sebagai
antikolinergik/parasimpatolitik yang sangat beracun. Umumnya tumbuhan
yang mengandung zat beracun tersebut tidak akan mendapat gangguan dari
binatang, karena secara naluriah akan dihindarinya.
Sekarang
bagaimana dengan seekor binatang yang sakit? Secara naluriah seekor
binatang yang sakit akan mencari sesuatu dari alam sekelilingnya demi
untuk mempertahankan hidupnya. Cukup sering dilihat seekor anjing atau
kucing mencari rerumputan atau daun-daunan tertentu; yang memiliki efek
memabukkan/membunuh cacing dan sekaligus mengeluarkan/memuntahkannya
dari saluran pencernaannya. Dengan demikian ia “mengobati dirinya
sendiri” dengan mensuplai tubuhnya dengan bahan/zat/hara yang
diperlukannya. Sebagai ilustrasi dari mempertahankan eksistensi atau
keturunan ialah ayam petelur yang lepas (bukan ayam broiler) mematuk
atau mencukil dinding tembok untuk mendapatkan zat kapur yang diperlukan
untuk pembentukan kulit telur. Kekurangan akan zat kapur disuplainya
secara naluriah.
Bagaimana keadaannya dengan manusia? Yang
membedakan manusia dengan hewan adalah “akal”. Akan tetapi, manusia
purba dan manusia yang masih hidup primitif (dimana akal masih kurang
berkembang) eksistensinya hidupnya juga masih banyak dipengaruhi oleh
nalurinya. Bagaimana keadaannya dengan manusia primitif yang sakit atau
kekurangan akan suatu zat/hara dalam sistem faalnya? Contoh berikut
dapat memberikan suatu gambaran : suatu suku bangsa primitif mempunyai
kebiasaan memakan tanah. Mulanya hal ini mengherankan, tetapi setelah
diadakan penelitian lebih mendalam ternyata ada dua hal yang berkaitan :
pertama, tanah yang dimakan banyak mengandung zat besi (Fe); kedua,
diet sehari-hari suku tersebut kurang akan zat besi. Secara naluriah
suku itu mencari zat besi dari tanah, sehingga mereka tidak akan
menderita penyakit anemia karena kekurangan zat besi .
Diantara
beberapa karakteristik yang unik dari Homo sapiens adalah kemampuannya
untuk mengatasi penyakit, baik fisik maupun mental dengan menggunakan
obat-obatan. Dari bukti arkeologi didapatkan bahwa pencarian terhadap
obat-obatan setua pencarian manusia terhadap peralatan lain. Seperti
halnya bebatuan yang digunakan untuk pisau dan kapak, obat-obatan pun
jarang sekali tersedia dalam bentuk siap pakai. Bahan-bahan obat
tersebut harus dikumpulkan, diproses dan disiapkan; kemudian digabungkan
menjadi satu untuk digunakan dalam pengobatan. Aktivitas ini, telah
dilakukan jauh sebelum sejarah manusia dimulai dan sampai sekarang tetap
menjadi fokus utama praktek kefarmasian.
Manusia purba
belajar dari insting atau naluri, dengan melakukan pengamatan terhadap
hewan. Pertama kali mereka menggunakan air dingin, sehelai daun, debu,
bahkan lumpur untuk pengobatan. Naluri untuk menghilangkan rasa sakit
pada luka dengan merendamnya dalam air dingin atau menempelkan daun
segar pada luka tersebut atau menutupinya dengan lumpur, hanya
berdasarkan kepercayaan. Manusia purba belajar dari pengalaman dan
mendapatkan cara pengobatan yang satu lebih efektif dari yang lain. Dari
sinilah permulaan terapi dengan obat dimulai. Mereka menularkan
pengetahuan ini kepada sesamanya. Walupun metode yang mereka gunakan
masih kasar, akan tetapi banyak sekali obat-obatan yang ada saat ini
diperoleh dari sumbernya dengan metode sederhana dan mendasar seperti
yang telah mereka lakukan.
Farmasi Zaman Babylonia-Assyria
Pada
daerah selatan kerajaan Babylonia (sekarang Iraq), bangsa Sumeria telah
mengembangkan sistem tulis-menulis sekitar tahun 3000 SM sehingga
mereka telah memasuki periode sejarah. Bangsa Babylonia melakukan
observasi terhadap planet-planet dan bintang-bintang yang mendasari ilmu
astronomi dan astrologi saat ini. Kedudukan dan gerakan bintang-bintang
diduga mempengaruhi kejadian di bumi. Kepercayaan ini kemudian diadopsi
oleh ilmu kedokteran dan kefarmasian berikutnya. Bangsa Sumeria dan
pewarisnya yakni bangsa Babylonia dan Assyria telah meninggalkan ribuan
tablet lempung dalam puing-puing peninggalan mereka sebagai salah satu
peninggalan peradaban manusia yang paling berharga. Sejarah mereka
terkubur rapat-rapat dalam tablet lempung tersebut hingga berabad-abad
berikutnya sekelompok sejarahwan berhasil mengungkap “bagian yang
hilang” dari catatan-catatan kuno ini.
Dari penelitian
terhadap catatan-catatan kuno tersebut disebutkan 3 aspek yang paling
berpengaruh dalam ilmu pengobatan Babylonia-Assyria yakni : ketuhanan
(divination), pengusiran roh jahat/setan (excorcism) dan penggunaan
obat-obatan. Tiga aspek tersebut merupakan satu-kesatuan yang sulit
untuk dipisahkan. Penyakit adalah kutukan atau hukuman Tuhan, sedangkan
pengobatan adalah pembersihan/pensucian dari kedua hal tersebut. Konsep
tersebut dikenal sebagai katarsis (catharsis). Konsep ini menjelaskan
makna asli kata “pharmakon” (Yunani), yang merupakan asal kata pharmacy
(farmasi). Konsep pharmakon dijelaskan sebagai berbagai usaha
penyembuhan atau pensucian dengan cara mengeluarkan atau membersihkan.
Yang menarik, di dalam farmakologi (ilmu tentang obat dan mekanisme
kerjanya) dikenal obat katartik atau pencahar, yakni obat yang bekerja
meningkatkan motilitas kolon (usus besar) sehingga meningkatkan
pengeluaran tinja (feses).
Para pendeta di masa itu
berperan sebagai rohaniwan (diviner) dan pengusir setan, yang mendukung
peran mereka sebagai penyembuh/dokter. Dalam literatur lain disebutkan
bahwa terdapat pemisahan profesi penyembuh di antara bangsa Babylonia,
yakni penyembuh empiris dan penyembuh yang spiritualis. Penyembuh
spiritualis dikenal sebagai asipu, yang menekankan pada penggunaan
mantra/doa-doa bersama dengan batu-batu bertuah/jimat-jimat dalam
pengobatan.
Pada salah satu tablet lempung tercatat adanya
mantra/doa yang tertulis di awal dan di akhir suatu formula obat.
Mantra/doa tersebut diharapkan memberi kekuatan menyembuhkan kepada
obat-obatan yang telah dibuat. Fenomena ini mungkin masih sering
dijumpai di berbagai pengobatan tradisional atau pengobatan alternatif
bangsa kita. Penyembuh empiris dikenal sebagai asu, yang menggunakan
obat/ramuan tertentu dalam bentuk sediaan farmasi yang sekarang masih
digunakan seperti : pil, supositoria, enema, bilasan, dan salep. Kedua
penyembuh tersebut seringkali bekerjasama dalam menangani penyakit yang
berat/sulit disembuhkan. Selain kedua penyembuh tersebut terdapat
sekelompok orang yang juga meracik obat dan kosmetik yang disebut
pasisu. Akan tetapi peranan dan kedudukan mereka dalam pengobatan belum
diketahui secara pasti.
Obat-obatan
R. Campbell Thompson mendapatkan
ratusan tablet lempung dari hasil penggalian perpustakaan raja
Assurbanipal dari Assyria. Thompson telah berhasil mengidentifikasi 250
tanaman obat dan 120 obat-obat mineral, juga minuman beralkohol, lemak
dan minyak, bagian tubuh hewan, madu, lilin, serta berbagai susu yang
digunakan dalam pengobatan. Bahkan juga dikenal penggunaan kotoran
(tinja) hewan atau manusia dalam salah satu metode pengobatan bangsa
Babylonia-Assyria. Kotoran tersebut diharapkan dapat membuat jijik dan
mengusir roh jahat yang merasuki tubuh pasien dengan segera. Tumbuhan
obat yang dikenal saat itu misalnya pine turpentine, styrax, galbanum,
hellebore, myrrh, asafoetida, calamus, ricinus, mentha, opium,
glycyrrhyza, mandragora, cannabis, crocus serta thymus. Sebagian besar
tumbuhan tersebut masih digunakan untuk pengobatan hingga saat ini.
Berbagai
bentuk sediaan yang ada meliputi anggur obat, mikstura, salep, enema,
tapel, plester, losio, infusa, dekok dan fumigan. Pada catatan
kefarmasian yang tertua (ditulis oleh bangsa Sumeria ± 4000 tahun yang
lalu) terdapat berbagai macam formula obat, dimana komposisinya ditulis
tidak kuantitatif sebagai berikut :
“Haluskan biji carpenter, gom resin markasi dan thymi; larutkan dalam bir untuk diminum”.
Hal
ini cukup mengherankan mengingat mereka adalah penemu sistem pengukuran
dan penimbangan yang memberikan kontribusi berharga kepada peradaban
manusia.
Jimat, mantra dan sihir menjadi bagian dari
kebudayaan bangsa Mesopotamia. Seperti yang telah diuraikan, pada salah
satu formula obat terdapat tulisan mantra/doa yang memberikan kekuatan
menyembuhkan kepada obat yang dibuat. Bahan-bahan tertentu untuk membuat
obat tersebut mungkin saja telah memiliki kekuatan menyembuhkan
walaupun tanpa intervensi para pendeta melalui mantra atau doa-doa
mereka yang sekarang kita kenal sebagai bahan yang aktif secara
farmakologi. Namun demikian ada dua hal yang diwariskan kepada kita;
yang pertama adalah pengetahuan tentang bahan-bahan tertentu yang
memiliki kekuatan “supernatural” (terutama tumbuhan obat) dan yang kedua
adalah konsep mempengaruhi fungsi tubuh dengan menggunakan bahan-bahan
(obat) tersebut, yang sekarang dikenal sebagai farmakoterapi.
Mitologi dan Seni Pengobatan
Dewa
Ea dan Gula adalah dewa-dewa bangsa Babylonia-Assyria yang paling
sering disebut dalam mantra-mantra yang terdapat dalam formula-formula
obat. Dewa pengobatan yakni Ninazu, adalah pelindung para
penyembuh/pendeta. Sedangkan putranya yakni Ningischzida adalah nabi
mereka. Suatu hal yang cukup menarik adalah simbol kedua dewa tersebut
adalah tongkat dan ular, yang mengingatkan simbol ilmu kedokteran modern
yang diadopsi dari bangsa Yunani ratusan tahun kemudian.
Farmasi Zaman Mesir Kuno
Piramida
yang masih berdiri dengan kokoh hingga saat ini merupakan bukti
kekuatan dan kejayaan bangsa Mesir selain pembalseman mayat-mayat
(mumi), lukisan dinding dan harta benda di kompleks-kompleks pemakaman.
Bangsa Mesir mencatat kejadian-kejadian pada saat itu atau ide-ide
mereka (misalnya sistem pengairan dan pertanian) dengan menulisnya di
papyrus atau dalam bentuk hyeroglyph mulai tahun 3000 SM, sebelum mereka
mengembangkan peradaban dengan teknologi metalurgi (penempaan logam)
yang maju. Mereka berdagang dan kadang berperang dengan negeri-negeri
sekitarnya di sebelah timur Mediterania dan Afrika.
Seperti
halnya di Babylonia, pada catatan peninggalan Mesir menunjukkan
hubungan yang dekat antara penyembuhan supranatural dengan penyembuhan
empiris. Resep/formula obat biasanya diawali dengan doa atau mantra
tertentu. Di dalam formula-formula tersebut disebutkan obat-obat yang
lebih rumit, bentuk sediaan yang lebih banyak dan teknik pembuatan yang
mendetil. Mungkin yang paling terkenal dari catatan yang ada adalah
Ebers Papyrus, suatu kertas bertulisan yang panjangnya 60 kaki dan
lebarnya satu kaki dari abad ke-16 SM. Dokumen ini sekarang berada di
University of Leipzig, untuk mengingat seorang ahli tentang Mesir,
berkebangsaan Jerman, bernama Georg Ebers, yang menemukan dokumen
tersebut di kuburan suatu mumi dan menerjemahkannya sebagian, selama
setengah dari akhir abad ke-19.
Sebagaian besar isi
Papirus Ebers adalah formula-formula obat, yang menguraikan lebih dari
800 formula. Selain itu disebutkan juga sekitar 700 obat-obatan yang
berbeda. Obat-obatan tersebut terutama berasal dari tumbuhan walupun
tercatat juga obat-obatan yang berasal dari mineral dan hewan.
Obat-obatan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan sampai sekarang masih
dipakai, antara lain seperti akasia, biji jarak, adas, disebut
bersama-sama dengan yang berasal dari mineral, seperti besi oksida,
natrium bikarbonat, natrium klorida dan sulfur. Kotoran hewan juga
digunakan dalam pengobatan seperti halnya di Babylonia. Dalam literatur
lain disebutkan bahwa psyllium disebutkan dalam Papirus Ebers dan
dikenal sebagai laksatif dan antidiare sekitar tahun 1500 SM. Saat ini
psyllium lebih dikenal dengan nama dagang Metamucil yang sering dijumpai
di apotek.
Bahan pembawa sediaan (vehiculum) yang dipakai
adalah bir, anggur, susu dan madu. Madu dan lilin juga sering digunakan
sebagai bahan pengikat (binders) dalam formula-formula tersebut.
Mortir, penggiling tangan, ayakan dan timbangan biasa digunakan oleh
orang Mesir dalam membuat supositoria, obat kumur, pil, obat hisap,
troikisi, lotio, salep mata, plester dan enema; seperti halnya dalam
peracikan obat-obatan (teknologi farmasi) saat ini.
Berbeda
dengan formula-formula bangsa Babylonia yang ditulis secara kualitatif
saja, formula-formula Mesir kuno ditulis secara kuantitatif. Dikenal
satuan ro (1 ro = ± 15 ml). Selain itu juga ditulis lama pengobatan
(terapi) empat hari yang merupakan lama pengobatan yang umum di Mesir
saat itu, yang mungkin lebih menekankan aspek “sihir”nya dibanding hasil
observasi klinis. Di bawah ini adalah salah satu contoh formula
tersebut :
Formula untuk membersihkan purulensi :Hyoscyamus 20
roDates 4 roWine 5 roAss’s milk 20 roDi rebus, dipekatkan dan diminum
selama empat hari
Salinan formula-formula obat
disebarluaskan dari satu penyembuh ke penyembuh lainnya, juga dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Kadangkala sebagian obat diambil dari
formula aslinya dan dikombinasikan begitu saja dengan obat-obat lain
dari formula yang berbeda. Kemungkinan besar hal ini merupakan awal
munculnya pengobatan yang disebut dengan “polifarmasi” (poli = banyak,
farmasi = obat) yang kelak diketahui sebagai salah satu metode
pengobatan yang tidak rasional.
Mitologi Mesir
Praktek
kefarmasian telah dikenal dalam mitologi Mesir. Seperti halnya di
Babylonia, bangsa Mesir juga mengenal dewa-dewa yang berpengaruh dalam
pengobatan seperti Thoth, Osiris, Isis, Horus dan Imhotep. Salah satu
simbol yang menghubungkan praktek kefarmasian saat ini dengan mitologi
kuno adalah simbol Rx, yang dijumpai dalam penulisan resep di seluruh
dunia. Sebagian besar pendapat menyatakan bahwa simbol tersebut berasal
dari simbol mata Horus, dewa elang bangsa Mesir. Horus selalu mengawasi
setiap proses pembuatan obat, sebagai simbol bahwa profesi farmasis
selalu mendapat pengawasan dari Tuhan sehingga setiap pelaku profesi ini
harus selalu bekerja dengan baik, cermat dan jujur karena Tuhan selalu
melihat dan mengawasi mereka.
Horus ditugaskan oleh Isis,
ibunya sebagai penjaga balai pengobatan (house of medicine) para dewa.
Sedangkan tugas menjaga bejana pembalseman diberikan kepada dewa lain,
yakni anepu (bangsa Yunani menyebutnya anubis) yang mungkin dianggap
sebagai farmasis para dewa selain sebagai dewa kematian.
Farmasi Zaman Yunani Kuno
Pada
milenium berikutnya, akar dari profesi kesehatan di dunia Barat muncul
dan berkembang dari peradaban bangsa Yunani di kepulauan dan laut Aegea.
Bangsa Yunani mendapatkan berbagai stimuli dan pengaruh dari luar yakni
dari Mesopotamia dan Mesir, walaupun jika dibandingkan terdapat
perbedaan yang sangat besar antara obat dan bentuk pengobatan yang
digunakan.
Mitologi Yunani
Dalam
mitologi Yunani yang dikenal sebagai dewa pengobatan awalnya adalah
Apollo, yang kemudian digantikan oleh Asklepios (Aesculapius), setelah
Apollo dibunuh oleh Zeus, raja para dewa. Apollo mendapatkan pengetahuan
tentang obat-obatan dari Chiron, bangsa Centaur (manusia dengan dua
tangan dan berbadan kuda, lambang bintang Sagitarius). Dalam melakukan
tugasnya, Asklepios dibantu oleh dua orang putrinya yakni Hygea dan
Panacea. Pada masa itu didirikan balai pengobatan atau Sanctuary untuk
memuja Asklepios dan kedua putrinya. Mereka yang telah lama mengalami
penderitaan akibat penyakit pergi ke kuil dewa Asklepios, kemudian tidur
dengan harapan akan dikunjungi oleh dewa atau putrinya Hygeia yang
membawa ular dan semangkuk obat dalam mimpinya. Ular dan mangkok
tersebut kemudian menjadi simbol farmasi, bahkan telah diadopsi menjadi
simbol ilmu kesehatan. Tongkat Asklepios diadopsi menjadi simbol
kedokteran di seluruh dunia. Selanjutnya, dikenal tumbuhan Panacea yang
dianggap memiliki berbagai khasiat atau dapat menyembuhkan segala macam
penyakit (obat dewa).
Filsafat Yunani dan Pengaruhnya dalam Konsep Kesehatan
Bangsa
Yunani adalah bangsa yang pertama kali menguraikan secara sistematis
fenomena di alam dan kedudukan manusia di dalamnya, yang sekarang
dikenal sebagai filsafat. Istilah “philosopher” berasal dari bahasa
Yunani philos (teman) dan sophia ( kebijaksanaan) yang berarti
kebijaksanaan telah terdapat di dalam setiap orang yang berusaha
mencarinya dan kebijaksanaan akan menjadi temannya. Sebagian besar para
filsuf berusaha menjelaskan secara rasional tentang alam dan fenomena
yang terjadi di dalamnya termasuk kaitannya dengan seni pengobatan.
Masalah yang sering dihadapi oleh para filsuf tersebut adalah :
penjelasan rasional apakah yang bisa didapatkan dari asal-usul dunia
dimana manusia hidup di dalamnya dan asal-usul penyakit yang diderita
oleh manusia. Yang paling menarik adalah ide tentang sesuatu yang
esensial dan fundamental di mana segala sesuatu berasal daripadanya.
Berikut ini disenaraikan beberapa filsuf Yunani yang ide dan
pandangannya mempengaruhi konsep kesehatan dan penyakit.
Empedocles (504 SM)
Empedocles
mengemukakan ide bahwa ada 4 unsur yang menjadi akar dari segala
sesuatu termasuk tubuh hewan dan manusia yakni : air, udara, api dan
tanah. Teori ini disebut sebagai teori 4 elemen.
Menurut
Empedocles dan para pengikutnya sehat merupakan keseimbangan dari
keempat elemen tersebut, sedangkan sakit disebabkan karena
ketidakseimbangan keempat elemen tersebut.
Phytagoras (580-489 SM)
Phytagoras
mengemukakan ide bahwa hubungan antara nada dengan lamanya suatu akor
(chord) bervibrasi dapat dinyatakan dalam angka-angka tertentu. Para
pengikut sekte Phytagorean (pengikut Phytagoras) menghubungkan ide
Phytagoras ini dengan angka mistis 7 bangsa Babylonia-Assyria. Angka 7
(tangga nada do sampai si) dianggap penting karena menunjukkan adanya
hubungan antara 7 planet sebagai simbol 7 dewa dengan 7 logam yang
dikenal saat itu. Diasumsikan bahwa dewa-dewa mempengaruhi kejadian di
bumi termasuk sehat, sakit dan lain sebagainya melalui planet-planet.
Secara bertahap, pengaruh tersebut lebih mengacu kepada planet-planet
itu sendiri, dimana posisi planet-planet tersebut berhubungan dengan
pengaruhnya di bumi. Inilah awal berkembangnya ilmu astronomi dan
astrologi. Dalam kefarmasian bangsa Mesopotamia awal, astrologi
berpengaruh kepada kapan suatu tumbuhan (sebagai bahan obat) harus
dipanen, dan bahkan kapan suatu obat harus diracik.
Hippocrates (460-370 SM)
Hippocrates
adalah seorang dokter Yunani yang dihargai karena memperkenalkan
farmasi dan kedokteran secara ilmiah. Dia menerangkan obat secara
rasional, dan menyusun sistematika pengetahuan kedokteran serta
meletakkan pekerjaan kedokteran pada suatu etik yang tinggi.
Pemikirannya tentang etika dan ilmu kedokteran memenuhi tulisan-tulisan
ilmu kedokteran, baik yang ditulisnya sendiri maupun penerusnya. Konsep
dari pandangannya disusun dalam bentuk sumpah Hippocrates, yang
merupakan tata cara dan perilaku untuk profesi kedokteran. Hasil
pekerjaannya termasuk uraian dari ratusan obat-obatan. Sebagai pelopor
dalam ilmu kedokteran dan ajarannya yang memberikan inspirasi serta
falsafahnya yang sudah maju dan merupakan bagian dari ilmu kedokteran
modern, Hippocrates diberi penghargaan yang tinggi dan disebut sebagai
“Bapak Ilmu Kedokteran”.
Di dalam korpus (corpus) atau
kumpulan naskah Hippocrates terdapat konsep keseimbangan 4 cairan tubuh
(humor) yang menggantikan konsep 4 elemen Empedocles sebagai faktor
penyebab keadaan sehat atau sakit. Di dalam konsep ini disebutkan bahwa 4
elemen dalam alam seperti : tanah, udara, air dan api pararel dengan 4
cairan tubuh yang paling berpengaruh yakni : empedu hitam (black bile),
darah (blood), cairan empedu (yellow bile) dan dahak (phlegm).
Keseimbangan dan distribusi keempat cairan tubuh tersebut sangat penting
bagi makhluk hidup.
Pengobatan yang utama menurut kaum
Hippocratean (pengikut Hippocrates) adalah digunakannya bahan-bahan yang
memiliki efek purgatif (pencahar kuat), sudorifik (meningkatkan
pengeluaran keringat), emetik (memuntahkan) dan enema (cairan urus-urus,
umumnya disemprotkan ke dalam anus). Pada intinya bahan-bahan tersebut
digunakan untuk mengobati penyakit yang dipercaya pada saat itu,
disebabkan oleh kelebihan cairan tubuh. Proses penyembuhan tersebut
dikenal sebagai pembersihan, pemurnian atau penyucian tubuh (body
catharsis). Konsep ini merubah makna kata pharmakon sebelumnya, yang
mengacu kepada jimat atau guna-guna (baik menyembuhkan atau meracuni)
menjadi bahan-bahan pembersih atau penyuci tubuh (purifying remedy).
Farmasi Abad Pertengahan
Pada
permulaan era agama Kristen terdapat beberapa nama ilmuwan Yunani dan
Romawi yang memberikan berpengaruh terhadap perkembangan ilmu
kedokteran. Berikut ini disenaraikan beberapa nama ilmuwan yang cukup
dikenal tersebut.
Theophrastus (370-285 SM)
Penelitian
besar-besaran terhadap tumbuh-tumbuhan (terutama untuk pengobatan) di
dunia Barat pertama kali dilakukan oleh Theophrastus (± 370-285 sebelum
Masehi), salah seorang murid Aristoteles. Dia mengumpulkan berbagai
informasi dari para sarjana, bidan, pencari akar-akaran dan dokter
keliling. Pengetahuannya baru bisa disamai 300 tahun kemudian oleh
Dioscorides .
Dioscorides (Th 65 M)
Dioscorides
adalah dokter Yunani yang juga sebagai ahli botani, merupakan orang
pertama yang menggunakan ilmu tumbuh-tumbuhan sebagai ilmu farmasi
terapan. Hasil karyanya de Materia Medica Libri Quinque, dianggap
sebagai awal dari pengembangan botani farmasi dan dalam penyelidikan
bahan obat yang diperoleh secara alami. Ilmu dalam bidang ini dikenal
sebagai farmakognosi (pharmakon = obat, dan gnosis = pengetahuan).
Banyak sekali obat-obatan yang ditemukannya seperti aspidium, opium,
hyoscyamus dan kina masih digunakan sebagai obat sampai sekarang.
Uraiannya tentang cara pengenalan dan pengumpulan hasil obat alami, cara
penyimpanan yang benar dan cara mengenal pemalsuan atau pengotoran
merupakan standar pada masa itu serta menjadi kebutuhan untuk pekerjaan
selanjutnya dan sebagai petunjuk untuk peneliti berikutnya. De Materia
Medica merupakan ensiklopedi obat standar selama ratusan tahun
berikutnya .
Pliny
Pliny
adalah seorang jenderal, duta dan diplomat Romawi yang memiliki hobi
mengumpulkan berbagai pengetahuan ilmiah selama hidupnya. Pliny
merupakan ilmuwan seangkatan dengan Dioscorides yang mempunyai minat dan
sumber yang sama. Pliny menulis ensiklopedi yang diterjemahkan sebagai
Natural History yang sebagian isinya menguraikan tentang obat.
Largus
Scribonius
Largus adalah dokter Romawi yang menulis buku Compositiones sekitar
tahun 43 M yang merupakan dispensatorium yang pertama. Di dalam naskah
tersebut diuraikan berbagai simplisia (simplicia) dan campuran berbagai
simplisia/obat (composita).
Galen (131-201 M)
Melalui
tulisan dan ajaran Galen, seorang dokter Yunani yang berpraktek di Roma
pada abad ke-2 Masehi, sistem pengobatan berdasarkan cairan tubuh
mencapai kemajuan selama 1500 tahun kemudian. Galen menguraikan secara
panjang lebar suatu sistem yang mengharuskan mempertahankan keseimbangan
cairan di suatu individu yang sakit dengan menggunakan obat-obatan yang
memiliki sifat berlawanan. Sebagai contoh, untuk mengobati radang atau
inflamasi (in = di dalam dan flame = api, panas) eksternal digunakan
mentimun yang bersifat dingin.
Galen telah memberikan pedoman yang
bersifat rasional dan sistematis dalam memilih obat (walaupun pada saat
ini dianggap salah). Menurut Galen, masing-masing keempat cairan tubuh
memiliki sifat tertentu, yakni : darah bersifat lembab dan hangat, dahak
(yang dianggap berasal dari otak) bersifat lembab dan dingin, empedu
(yang dianggap berasal dari hati) bersifat hangat dan kering, serta
empedu hitam (yang dianggap berasal dari limpa dan lambung) bersifat
dingin dan kering. Selain itu, keempat cairan tubuh tersebut
mempengaruhi sistem metabolisme dan temperamen seseorang, seperti
melankolis atau sanguinis. Hubungan tersebut dapat dilihat pada gambar.
Dengan mengaitkan antara penyakit yang diobservasi dengan
ketidakseimbangan cairan tubuh tertentu, obat-obatan dapat
diklasifikasikan berdasarkan efek berlawanan yang ditimbulkan terhadap
suatu penyakit. Sebagai contoh, jika dianggap bagian tubuh yang sakit
bersifat lebih hangat 10 satuan dan lebih kering 7 satuan dari normal,
maka obat yang diberikan di permukaan tubuh harus bersifat lebih dingin
10 satuan dan lebih lembab 7 satuan dari normal. Jika bagian yang sakit
letaknya lebih dalam, dibutuhkan penyesuaian dosis agar obat tidak
kehilangan kekuatannya sebelum mencapai target pengobatan.
Selain
itu, Galen telah mengenalkan teknik “perdarahan”, yakni mengurangi
volume darah yang dianggap banyak mengandung penyakit. Teknik ini
diadopsi oleh orang-orang Islam pada jaman berikutnya yang dikenal
sebagai bekam atau pengobatan Nabi (prophetic medicine). Teknik ini
masih dipakai dalam sistem pengobatan Unani (Unani Arabic Medicine)
sampai saat ini. Galen juga menyarankan penggunaan polifarmasi (banyak
obat, sekarang dikenal sebagai “Shotgun Prescription”) dengan argumen
tubuh pasien akan mengeluarkan berbagai obat yang kompleks tersebut
untuk menjaga keseimbangkan cairan tubuh. Saat ini polifarmasi dikenal
sebagai pengobatan yang tidak rasional. Meski demikian, Galen telah
menciptakan suatu sistem yang sempurna mengenai fisiologi, patologi dan
pengobatan serta merumuskan doktrin yang diikuti selama 1500 tahun. Dia
adalah pengarang yang memiliki karya paling banyak di jamannya maupun
jaman lain dan telah mendapat penghargaan untuk 500 buku tentang
kedokteran serta 250 buku lainnya tentang filsafat, hukum maupun tata
bahasa. Karya tulisnya dalam ilmu kedokteran termasuk uraian berbagai
obat-obatan yang berasal dari alam dengan formula dan cara pembuatannya.
Dialah orang pertama yang memperkenalkan teknik mencampur atau melebur
masing-masing bahan. Teknik ini kemudian dikenal sebagai farmasi
Galenik.
Sampai dengan awal abad VI era Kristen, belum terdapat
kemajuan ilmu pengetahuan yang berarti bagi peradaban manusia hingga
pada abad XII dan XIII beberapa ilmuwan Islam memberikan sumbangsih yang
besar terhadap perkembangan ilmu kedokteran dan kefarmasian sampai
dengan era berikutnya. Ilmuwan dan filsuf Islam (Arab) tidak hanya
mengadopsi ilmu pengobatan dan ilmu pengetahuan Yunani tetapi juga
melengkapi, menyempurnakan dan bahkan mengoreksi naskah-naskah ilmuwan
Yunani sebelumnya. Pada masa kejayaan Islam terdapat beberapa nama yang
memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu
kefarmasian. Berikut ini akan diuraikan beberapa ilmuwan Islam yang
karya-karyanya sangat mempengaruhi perkembangan ilmu kefarmasian
berikutnya.
Al-Biruni (Abad XI)
Al-Biruni
telah menyusun Materia Medika yang mendeskripsikan lebih dari 1000
macam simplisia. Selain melengkapi dan memperbaiki naskah Materia Medika
Dioscorides, Al-Biruni telah menambah dan menguraikan berbagai jenis
simplisia yang berasal dari Timur. Pada saat itu ilmu farmasi merupakan
cabang ilmu kedokteran dengan keahlian khusus, yakni pembuatan dan
penyiapan obat-obatan (simplisia).Ibnu Sina (Latin : Avicenna th 1037 M)
Ibnu Sina telah
menyusun buku yang berjudul Qonun fi Al-Tibh yang dikenal di dunia
Barat sebagai Canon Medicine. Buku tersebut menguraikan 760 jenis obat
secara komprehensif. Salah satu jenis obat yang diuraikan adalah obat
jantung, yang saat itu belum banyak dibahas ilmuwan lain. Ibnu Sina
merupakan Bapak Kedokteran Islam yang dihormati baik di dunia Timur dan
Barat, seperti halnya ilmuwan Islam lainnya yang memberikan pengaruh
ilmu kedokteran selama beberapa abad lamanya.Praktek KefarmasianPada
jaman berikutnya Islam menjadi pusat ilmu pengetahuan pada umumnya dan
menjadi pusat ilmu kedokteran dan kefarmasian pada khususnya yang
terletak di kota Baghdad, Iraq. Pada saat itu Baghdad merupakan kota
metropolis yang menjadi pusat perdagangan dan ilmu pengetahuan.
Toko-toko obat, rempah-rempah dan parfum banyak bermunculan di jantung
kota, demikian juga praktek-praktek dengan spesialisasi tertentu juga
banyak bermunculan seperti halnya rhizotomii (pengumpul dan ahli rimpang
atau jahe-jahean), seplasiarii (ahli parfum atau wangi-wangian) dan
unguentarii (ahli salep) pada zaman Yunani kuno. Pada saat itu dikenal
istilah Al-Attar, yakni orang yang ahli dalam rempah-rempah dan
wangi-wangian. Di antara berbagai praktisi tersebut dikenal praktisi
pengobatan yang terdidik yang disebut Sayadilah. Sayadilah mendapatkan
ijin praktek khusus obat-obatan dari Muhtasib (penguasa setempat).
Mereka memiliki toko untuk menjual simplisia obat (Apotek), kebun
Materia Medika sebagai bahan baku simplisia obat serta laboratorium
untuk meracik sediaan obat seperti halnya pil, plester atau sediaan
galenika. Pada saat itu ilmu kefarmasian merupakan seni mengetahui
Materia Medika dalam berbagai jenis dan bentuk. Sayadilah merupakan
cikal bakal profesi farmasis (Apoteker) saat ini.
(Berbagai sumber)
(Berbagai sumber)